Saturday, January 7, 2012

Knalpot Plasma Anti Polusi



Kota manakah yang paling tercemar di dunia? Jakarta adalah salah satunya. Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Jakarta menempati urutan ketiga di dunia sebagai kota yang memiliki udara paling kotor setelah Katmandu (Nepal) dan New Delhi (India).
Data-data ini jangan dianggap enteng, Bung! Menurut WHO, setiap tahun sekitar 3 juta orang meninggal karena polusi udara. Nah, sekitar separuh dari 3 juta itu terjadi di kota-kota besar di Asia.
Itulah yang menjadi keprihatinan Dr. Muhammad Nur, DEA, Kepala Pusat Pengembangan dan Penerapan Teknologi LPM, Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. Menurut Nur, pertumbuhan penduduk kota yang cepat membuat kualitas lingkungan hidup menurun drastis. ”Itu terutama disebabkan tingkat polusi yang tinggi di perkotaan,” kata Nur.
Karena itulah, upaya mengatasi polusi udara menjadi perhatian dosen Jurusan Fisika Nuklir Undip ini. Masalah itu masih menjadi pikirannya ketika menempuh program doktoral khusus tentang teknologi plasma di Universite Joseph Fourier, Grenoble, Prancis, 1997. Setahun sebelum pulang ke Tanah Air, Nur mengoreksi banyak kertas kerjanya sebagai bahan kajian.
”Tantangan saya ketika itu adalah apa yang bisa saya buat di Indonesia dengan teknologi plasma. Soalnya, plasma padat itu teknologinya supercanggih sekaligus sangat mahal,” katanya. Kemudian muncullah gagasan, kenapa tidak memakai teknologi plasma untuk mengurangi polusi udara?
Akhirnya Nur mulai mengadakan penelitian dampak plasma pada gas emisi kendaraan sejak 1998. ”Ketika itu, saya mulai merintis dan menekuni aplikasi teknologi plasma untuk Indonesia. Mungkin saya yang pertama karena saat itu belum ada yang melirik plasma ini sebagai inti penelitian,” ujarnya.
Setelah menjalankan uji coba yang tak kenal lelah, Nur akhirnya mencoba menerapkan plasma pada knalpot kendaraan bermotor. Ternyata dari hasil uji coba di laboratorium, unsur polutan seperti senyawa karbondioksida (CO2) menyusut hingga 86,5% dan karbon monoksida (CO) sebesar 88,9%. ”Itu pada perputaran mesin mencapai 2.200 rpm,” kata Nur.
Cara kerja knalpot plasma ini sebenarnya simpel saja. Berbagai gas buangan cukup disalurkan pada knalpot plasma, kemudian asap yang keluar hanya aerosol. Secara garis besar, kata Nur, pla­­­sma adalah gas yang terionisasi.
Plasma terdiri dari beragam campuran ion, elektron positif dan negatif, serta elektron radikal. Unsur plasma secara alami juga muncul dalam wujud halilintar. ”Sejumlah ilmuwan bahkan menempatkan plasma sebagai wujud keempat materi, di samping padat, cair, dan gas, karena bentuknya yang unik,” tutur Nur.
Karena sifatnya itu, kata Nur, plasma dapat digunakan untuk bermacam hal. ”Tergantung gas yang kita pakai dan untuk apa kegunaannya,” Nur menambahkan. Misalnya saja, jika ingin mengeraskan metal, cukup disisipkan ion nitrogen. ”Maka, metal akan bertambah keras,” ujar Nur. Prinsip rekayasa unsur plasma juga bisa diterapkan untuk tanaman. ”Jika ditembakkan pada tanaman, akan lebih cepat tumbuh, misalnya,” kata Nur.
Nah, prinsip yang sama berlaku jika plasma diterapkan pada gas emisi. Ionisasi plasma akan mereduksi sejumlah kandungan polutan dalam gas buangan kendaraan itu. Dalam kondisi ini, menurut Nur, berbagai unsur yang ada menjadi tidak stabil sehingga akan saling bereaksi membentuk senyawa baru. Saat keluar dari knalpot, asap buangan sudah netral. ”Kami menyebutnya aerosol yang tidak lagi polutan karena gas-gas polutan tadi sudah berubah menjadi sesuatu yang lain. Sifat polutannya secara umum berkurang hingga 90%,” ujar Nur.
Walaupun cara kerja knalpot plasma terlihat simpel, proses penciptaannya perlu telaah mendalam dan kerja keras. Nur merintis penelitiannya sejak 1998 dengan biaya sendiri. Baru sejak 2003, Direktorat Pendidikan Tinggi turun tangan memberi dana, yang kemudian dilanjutkan Kementerian Ristek sejak setahun lalu.
Nur berharap, karyanya ini mampu meredam polusi yang sudah mencekik napas. Saat ini, ia juga sedang mengembangkan aplikasi teknologi plasma untuk diterapkan pada polutan yang lebih besar. Misalnya cerobong asap pabrik dan pembakaran sampah.
Walau begitu, ini tidak serta-merta menjadi jawaban untuk masalah udara perkotaan. ”Transportasi hanya satu bagian. Untuk menyelesaikan masalah lingkungan, yang dibutuhkan adalah kesadaran dan perubahan cara hidup masyarakat. Misalnya sederhana saja, kebiasaan membakar sampah,” kata Nur.
Kini, sambil terus menyempurnakan prototipe knalpot plasma, Nur –bekerja sama dengan PT Dharma Poli Metal– berencana memasuki tahap produksi massal. Namun, untuk urusan paten, Nur mengatasnamakan pemegangnya pada Undip. ”Bagi saya, yang penting adalah apa kontribusi saya bagi sistem dan bukan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, semua bisa hidup, semua bisa menang, dan yang penting makin banyak orang terpacu untuk bekerja di bidang ini,” katanya.
Di masa depan, Nur yakin, akan ada ribuan paten di bidang plasma yang lahir. ”Saya yakin, teknologi ini dapat menjadi pilihan utama teknologi industri kelak sambil tetap melestarikan lingkungan,” kata Nur. Harapannya, dengan plasma, teknologi dan lingkungan tak mesti bertolak belakang.sumber

Ikuti terus Update terbaru dari kami dengan berlangganan rss di RSS feed atau ikuti kami di Twitter.
Nama: Email:

0 comments:

Post a Comment